WAKE UP MAN!!

Sunday, February 20, 2011

Mengapa Kita Butuh Wanita dalam Zona Perang (2)

KIM BARKER

Tanpa koresponden wanita di zona perang,pengalaman pahht para perempuan malang itu mungkin hanyalah rumor belaka.Lihatlah artikel tentang wanita di Afghanistan yang membakar diri untuk memprotes kawin paksa,atau tentang gadis-gadis yang cacat oleh para fundamentalis,tentang perkawinan anak dibawah umur di India,tentang perkosaan di Kongo dan Haiti.Wartawan2 wanita inilah yang sering menceritakan kisah2 tersebut dengan cara yang menarik,karena para wanita malang tsb,kadang-kadang,lebih nyaman berbicara dengan wartawan2 wanita.

Dan cerita-cerita tersebut,paling tidak,sama pentingnya dengan kisah pertempuran itu sendiri.Ada juga semacam manfaat tambahan disini.Nona Logan telah menjadi selebriti kecil2an,salah satu perempuan papan atas yg mengakui kekerasan seksual yg dialaminya.Meskipun dia telah melaporkan dari garis terdepan,ada pelajaran berharga darinya bagi para wanita muda,mungkin yang paling penting dan mendalam adalah:Ini bukan salahmu.Tak perlu malu untuk menceritakan kejadian apa adanya.(Habis)
--o0o--


*Kim Barker,seorang reporter untuk situs jurnalisme investigasi ProPublica,adalah penulis dari memoar yang akan datang ""The Taliban Shuffle:Strange Days in Afghanistan and Pakistan."


Ditranslet dari artikel aslinya di The New York Times

Mengapa Kita Butuh Wanita dalam Zona Perang (1)

Oleh KIM BARKER

Shannon Freshwater



RIBUAN orang memblokir jalan,mengelilingi mobil ketua pengadilan Pakistan,seorang pahlawan nasional bagi perlawanan terhadap rejim militer.Sebagai koresponden untuk The Chicago Tribune,pastinya aku gak boleh cuma menonton dari balik jendela mobil.

Aku harus kesana.Dengan mengenakan kerudung hitam yang longgar,jins lengan panjang warna merah,aku pun menerobos kerumunan dan mulai mencatat: tentang orang2 yg melemparkan kelopak mawar,tentang orang2 yg berteriak bahwa mereka rela mati demi sang ketua pengadilan,tentang orang2 yang mengorbankan seekor kambing.

Dan kemudian,hampir bisa ditebak,seseorang menggeranyangi bokong ku.Aku pun berbalik dan membentak,tapi kemudian hal itu terjadi lagi,dan lagi,sampai akhirnya aku menangkap tangannya dan meninju wajahnya.Orang-orang terus menggerayangi ku,aku pun terus meninju mereka.Pada titik tertentu-mungkin karena aku menciptakan tontonan-aku diundang ke mobil sang ketua pengadilan.

Saat itu,Juni 2007,aku melihat peristiwa ini hanyalah sebagai salah satu realitas dalam meliput berita di Pakistan.Aku tidak mengeluhkan hal ini kepada bos ku,karena bila hal itu ku lakukan hanya akan membuat ku tampak lemah.Sebaliknya,aku membuat lelucon tentang ini dan menjadikan pengalaman itu sbg sesuatu yang positif:Buktinya,ada seorang wanita membantu ku mendapatkan akses ke sang ketua pengadilan...hmmm

Dan aku sungguh2 beruntung.Memang sih ada yg meraba-raba,tangan2 iseng,sebuah muka yang tidak diinginkan-tapi itu semua ku anggap sbg masalah sepele.Aku tahu,mungkin, koresponden wanita lainnya tidak seberuntung aku,mungkin saja ada diantara mereka yang dilecehkan di kamar hotel,atau sebagian dilucuti oleh massa.Tapi aku tidak pernah bisa mengingat duduk bersama rekan2 wanita ku dan berbicara tentang apa yang telah terjadi,kecuali hanya membuat lelucon gak penting,karena dengan cerita demikian akan membuat kami tampak berbeda dari koresponden pria,lebih rentan.Namun aku tidak akan pernah memberitahu bos ku,karena takut mereka akan menyuruh ku tinggal di rumah saja bila sesuatu waktu ada peristiwa besar terjadi.

Aku tidak sendirian untuk tetap bungkap.''The Committee to Protect Journalists'' bisa saja mengatakan bahwa 44 wartawan dari seluruh dunia dibunuh tahun lalu karena pekerjaan mereka,tapi kelompok tsb tidak menyimpan data tentang penyerangan seksual dan pemerkosaan.Sebagian besar wartawan memang tidak mau melaporkannya.

Koresponden CBS,Lara Logan telah mendobrak 'code of silence' tsb.Dia telah meliput berbagai kisah2 paling berbahaya di dunia,dan melakukan banyak hal berani dalam karirnya.Tapi keputusannya untuk mempublikasikan penyerangan massa atas dirinya ketika meliput unjuk rasa Tahrir Square,Kairo,awal minggu ini,jauh lebih berani.Kini ia masih dirawat di rumah sakit untuk pemulihan atas trauama yg dialaminya,yang oleh CBS digambarkan sebagai kekerasan seksual dan pemukulan paling brutal dan berkelanjutan.

Ada beberapa komentar atas peristiwa Nona Logan ini,seperti mengatakan Nona Logan,entah bagaimana,memang salah:karena dia cantik;karena dia memutuskan untuk memasuki kerumunan massa;karena dia seorang 'pecandu' perang.Ini bukan salahnya.tapi massa.Serangan ini juga tidak ada hubungannya dengan Islam.Kekerasan seksual selalu saja menjadi alat perang,namun kadang wartawan wanita merasa nyaman2 saja.

Dalam beberapa minggu mendatang,aku khawatir bahwa kesimpulan yang ditarik dari pengalaman Nona Logan ini sedikit reaksioner atau malah,entah bagaimana,menjadi tambah gak jelas.bahwa akan ada anjuran agar koresponden wanita tidak diterjunkan meliput tempat berbahaya.Ada kemungkinan bahwa para pimpinan redaksi akan membuat keputusan untuk mengirim reporter pria saja sebagai gantinya,untuk berjaga-jaga.Tentu,laki-laki pun bisa jadi korban-seperti pada hari Rabu massa memukuli seorang reporter pria dari ABC di Bahrain,dan beberapa jurnalis pria lainnya yang mengaku telah disodomi oleh para penculiknya-tapi publisitas sekitar penyerangan Nona Logan bisa saja membuat editor berpikir,"Mengapa harus mengambil risiko?" Tentunya Itu akan menjadi pelajaran yang buruk.Mengapa?wanita pun dapat meliput pertempuran sama baiknya dengan pria,tergantung pada keberanian mereka.Yang lebih penting adalah,mereka juga melakukan pekerjaan yang cukup baik dlm meliput,bukan hanya,seperti apa kematian dalam situasi perang tapi juga kehidupan.(bersambung)


Ditranslet dari artikel aslinya di The New York Times